18 Februari 2012

[180212.ID.BIZ] Review Transportasi : Quo Vadis Transportasi Indonesia


Kemacetan dan kesemrawutan sudah jadi pemandangan sehari-hari di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Kemacetan itu timbul selain rendahnya sikap disiplin warga Jakarta dan kota besar lainnya, juga belum tertatanya infrastruktur transportasi massal yang memadai.

Ancaman stagnasi

Data Polda Metro Jaya menyebutkan ada sekitar 12 juta kendaraan hilir mudik pada 2011 di jalan-jalan Jakarta. Padahal pada 2010 ini jumlah kendaraan di Jakarta baru mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat.

Jika jumlah kendaraan tahun ini ditambah dengan masuknya kendaraan baru sebanyak 700.000 kendaraan, termasuk di kota-kota sekitar Jakarta, maka akan ada sekitar 12 juta jumlah kendaraan menyemut dan mengular di jalan Jakarta setiap hari.

Bila sebagian besar pemilik kendaraan itu bekerja di Ibu kota, maka lalulintas di dalam tol secara otomatis akan bertambah parah.

Sementara pertumbuhan luas jalan relatif tetap, sekitar 0,01%/tahun. Jika tak segera ada pembenahan pola transportasi, pada 2014 Jakarta diperkirakan akan mengalami kemacetan total, mungkin juga bisa lebih cepat.

Sebuah survai yang dilakukan Kementerian perekonomian tahun lalu menyebutkan kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Indonesia bisa mencapai Rp28,1 triliun per tahunnya.


Grand design sistem transportasi

Sumber kemacetan dan kesemrawutan transportasi darat di Indonesia lebih disebabkan belum adanya visi pemerintah dalam merancang desain besar sistem transportasi darat.

Belum adanya sistem transportasi massal yang memadai dan nyaman seperti di negara lain seperti Jepang, China, bahkan Singapura dan Malaysia menjadikan Indonesia tertinggal empat sampai lima langkah dari negara tetangga tersebut.

Negeri kita, terutama Dinas Perhubungan malah getol memberikan izin baru kepada angkot-angkot hingga menjadikan Jakarta dan kota-kota sekitarnya menjadi kota seribu angkot.

Tidak adanya grand desain sistem transportasi terlihat pada pembangunan infrastruktur yang acak-acakan dan terkesan menganut kebijakan yang mendadak dan hanya cari proyek saja.

Pemerintah lebih menyukai cara-cara instan daripada mengeluarkan kebijakan jangka panjang yang berdampak pada turunnya minat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dan lebih menyukai menggunakan sarana angkutan massal.


Apa kabarnya MRT dan monorel?

Kementerian Perhubungan mengklaim sudah mempunyai grand design transportasi yang tertuang dalam Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). Sistem ini memuat tatanan transportasi, baik darat, laut, dan udara yang terkoordinasi, sehingga diharapkan bisa membentuk sistem transportasi yang efektif dan efisien.

Sesuai Sistranas, sistem MRT seharusnya sudah diwujudkan. Namun, baru 2012 pembangunan MRT fase pertama jalan. Ini diakibatkan tidak terkoordinasinya kebijakan pemerintah daerah dan pusat, sehingga implementasinya macet.

Jakarta, misalnya, selain busway, kita pernah mendengar akan dikembangkan sistem transportasi monorel, kereta api bawah tanah (subway), dan juga waterway yang memanfaatkan aliran sungai.

Namun, rencana itu selalu terkendala berbagai masalah, seperti sulitnya pembebasan lahan, regulasi, dan interkoneksi. Moda transportasi di Jakarta tidak saling terkoneksi, sehingga kendaraan pribadi lagi-lagi menjadi pilihan.

Pembangunan moda transportasi massal yang berupa MRT (subway atau monorail) beserta sistem yang mendukungnya yang telah digagas oleh Pemerintah Provinsi Jakarta jauh jauh hari, hal ini didukung oleh pemerintah akan tetapi realisasinya sangat lambat dan terkesan setengah hati. Mungkin banyak tarik menarik kepentingan di dalamnya.

Bila dibandingkan dengan Busway, moda transportasi MRT lebih banyak mengangkut pengguna sarana umum daripada Busway yang kapasitas angkutnya terbatas dan menggunakan sebagian ruas jalan.

Mega proyek yang ada bukan tanpa masalah. Setelah sempat berhenti karena kehabisan dana pada 25 Maret 2009, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meneruskan pembangunan dan proyek MRT dengan disponsori JICA (Japan International Cooperation Agency) dengan biaya pinjaman diperkirakan total 120 miliar yen.

Investasi yang bukan main main besarnya dan kalaupun gagal akan menjadi aib tersendiri bagi pemerintah. Untuk itu pengerjaan proyek yang dilaksanakan harus diawasi secara ketat dan terukur. Supaya dana yang ada jelas penggunaannya.


Jalan tol dan non-tol

Cara instan Pemprov DKI Jakarta dalam menanggapi keluhan kemacetan warga bisa dilihat dari rencana penggelaran proyek-proyek pembangunan jalan raya baru. Pemprov DKI Jakarta masih memegang teguh cara berpikir lama, bahwa penambahan panjang jalan mampu mengatasi kemacetan lalu lintas.

Lihat saja, belum selesai proyek Pemprov DKI Jakarta membangun jalan layang Antasari dan Dr Satrio (Casablanca, Jakarta Selatan). Kini Pemprov DKI Jakarta sudah berencana membangun enam jalan tol dalam kota baru.

Tahap pertama, akan dibangun dua ruas jalan tol untuk jalur Semanan-Sunter sepanjang 17,88 kilometer. Nilai investasinya Rp9,76 triliun. Kemudian ruas Sunter-Bekasi Raya sepanjang 11 kilometer dengan nilai investasi Rp7,37 triliun.

Tahap kedua, dua ruas jalan tol koridor Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 11,38 kilometer dengan nilai investasi Rp5,96 triliun dan Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,65 kilometer dengan investasi Rp6,95 triliun.

Kemudian tahap ketiga akan dibangun ruas jalan Tol Dalam Kota Koridor Ulujami-Tanah Abang sepanjang 8,27 kilometer dengan nilai investasi Rp4,25 triliun. Dan terakhir atau tahap keempat dibangun ruas jalan Tol Dalam Kota Koridor Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 kilometer dengan investasi Rp5,71 triliun.

Selain menghambur-hamburkan banyak anggaran, pembangunan infrastruktur jalan tol dan nontol tersebut tentu saja bukan solusi jangka panjang, dan hanya menunda persoalan saja. Dan manakala jumlah kendaraan terus bertambah lagi, toh akhirnya jalan yang baru dibangun pun akan macet juga.

Sebuah penelitian yang dilakukan di California menunjukkan bahwa setiap 1% penambahan panjang jalan dalam setiap mil jalur akan menghasilkan peningkatan kendaraan bermotor sebesar 0,9% dalam waktu lima tahun (Hanson, 1995).

Bahkan Studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta (PT. Pembangunan Jaya, Mei 2005) justru menyatakan bahwa setiap pertambahan jalan sepanjang 1 km di Jakarta akan selalu dibarengi dengan pertambahan kendaraan sebanyak 1923 mobil pribadi.

Artinya, akan semakin banyak kendaraan bermotor yang datang ke Jakarta, karena difasilitasi adanya jalan raya baru. Jika demikian halnya maka sudah jelas bahwa kemacetan lalu lintas dan juga polusi udara juga tidak akan bisa diatasi dengan pembangunan jalan raya baru, termasuk pembangunan enam jalan tol dalam kota baru.

Karena pembangunan jalan baru akan memfasilitasi pengunaan kendaraan bermotor di Jakarta, maka pihak yang pertama diuntungkan dari proyek itu jelas industri otomotif. Betapa tidak, menurut data Polda Metro Jaya, penambahan mobil baru di Jakarta rata-rata 250 unit per hari, sedangkan sepeda motor mencapai 1.250 unit per hari.


Angkutan Kereta Api

Jangan tanya soal moda angkutan transportasi kereta api. Selain sarana dan prasarananya yang sudah tua dan jauh dari kesan layak, sumber daya manusia yang ada di dalamnya pun cukup memprihatinkan.

Belum lagi maraknya calo yang dilegalkan, karena dikoordinir oknum pegawai PT kereta Api, pedagang asongan yang dengan bebasnya naik turun gerbong kereta, dan penjagaan keamanan yang minim menjadikan angkutan tersebut masih jauh dari harapan sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya ibu kota.

Pemerintah Pusat, sebagai pemilik prasarana kereta api pun seperti tutup mata dengan kondisi ini. Di bawah pengelolaan yang kurang profesional, dan kurangnya jumlah gerbong kereta, maka solusi kereta api masih belum bisa dilakukan.

Mungkin opsi penyelenggaraan kereta api swasta yang sempat digulirkan pada 2006 bisa dikembangkan kembali mengingat setiap usaha di mana tidak ada persaingan di dalamnya, biasanya pelayanannya buruk.


Maut mengancam di jalan

Nampaknya masih banyak hal yang perlu dibenahi bersama dengan terdapatnya kesemrawutan transportasi kita.

Ini dibuktikan dengan banyaknya kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini, yang diperparah dengan ketidakkonsistenan kebijakan yang bergulir, kecenderungan berganti pimpinan atau pemegang kebijakan, berubah pula kebijakan yang ada akhirnya tidak bisa dihindari.

Tidak disiplinnya pembatasan tonase kendaraan dan uji laik operasi bagi truk dan kendaraan yang melintas di jalan menjadikan jalanan bisa menebarkan maut setiap saat sehingga banyak merusak jalan yang akhirnya membahayakan pengguna jalan lainnya.

Belum lagi mudahnya pengguna kendaraan dalam mendapatkan surat izin mengemudi (SIM) menjadikan cukup banyak pengemudi berkualitas rendah di jalanan kota besar seperti Jakarta.

Apalagi, kurang tertibnya pengemudi angkutan umum atau angkot dalam menaikkan dan menurunkan penumpang, menjadikan hanya sopir dan Tuhan lah yang tau kemana kendaraan itu bergerak.

Belum lagi kurangnya sarana trotoar yang nyaman dan lebar untuk pejalan kaki sehingga orang lebih suka menggunakan motor atau mobil untuk keluar kantor meskipun hanya dekat saja.


Solusi setengah hati

Sistem transportasi kota-kota besar di Indonesia yang karut marut memang tidak bisa diatasi dengan sekejap saja, karena butuh dukungan semua pihak, terutama masyarakat pengguna jalan.

Pemerintah juga perlu serius menerapkan grand design agar tercipta angkutan massal multimoda yang terintegrasi, bukan hanya mengejar proyek semata sehingga terkesan menyelesaikan masalah tanpa visi yang jelas dan hanya setengah hati.(api)

Sumber : Bisnis Indonesia, 16.02.12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar