19 Februari 2012

[190212.ID.BIZ] Konflik Riau Pulp : Satgas REDD+ Belum Rekomendasi

JAKARTA: Tim Satuan Tugas REDD+ belum memberikan rekomendasi terkait konflik yang terjadi pemegang izin hutan tanaman industri PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Riau.

Ketua Kajian Hukum dan Penegakan Hukum Satgas REDD+ Mas Achmad Santosa mengatakan tim satgas tersebut masih melakukan koordinasi dengan Dewan Kehutanan Nasional, sehingga belum ada rekomendasi apapun soal kasus tersebut.

"Tetapi saya kira secepatnya akan diputuskan soal konflik Pulau Padang. Jadi, belum dapat dijelaskan langkah-langkah kami, mudah-mudahan pekan depan," ujarnya seusai Konferensi PersTim Satgas REDD+ Baru, Jumat (17/02)

Dia menegaskan intinya masyarakat adat setempat menjadi bagian yang harus diperhatikan dan dilindungi hak-hak mereka. Menurutnya, Satgas REDD+ dan Satgas Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sedang mendalami konflik lahan dengan prinsip masyarakat adat setempat menjadi bagian penting.

Ketua Tim Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto mengatakan pihaknya memiliki sikap bahwa izin konsesi kehutanan yang telah diberikan, tetapi hak hidup masyarakat yang tinggal di hutan itu harus dihormati.

Dia menilai pemerintah sudah perlu meninjau kembali pendekatan yang selalu apabila izin hutan diberikan, maka akan dilakukan pemindahan kehidupan dari masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.

"Kita perlu petakan itu secara tetap, tetapi intinya marilah kita masuk ke era masyarakat tinggal di hutan, bisa hidup dengan baik dan sejahtera," ujarnya.

Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) merupakan suatu mekanisme pembiayaan bagi pengurangan emisi hutan di negara berkembang.

Mas Achmad memaparkan terkait dengan perizinan kehutanan yang tidak sesuai dengan prosedur, maka ada berbagai pilihan dalam menangani persoalan tersebut yaitu dapat masuk ke dalam opsi hukum yang tidak hanya hukum pidana, tetapi persoalan administrasi.

"Ini masuk pada ranah pendekatan hukum, kalau sudah melakukan pengrusakan [hutan]. Tidak hanya menggunakan UU Kehutanan, tetapi juga UU Lingkungan Hidup, kita menggunakan berbagai kebijakan agar tidak lolos. Kalau memang menemui unsur melawan hukum."

Menurutnya, saat ini pihaknya sedang menuntaskan berbagai kasus pelanggaran prosedur perizinan kehutanan.

Namun, dia enggan menyebutkan kasus-kasus yang sedang ditangani tersebut. "Apa saja tentu tidak dapat disebutkan, tetapi ada yaitu terkait dengan kegiatan yang tidak prosedural di atas hutan."

Sementara itu, pemerintah telah menerbitkan moratorium perizinan hutan primer dan lahan gambut sejak pertengahan 2011 yang berlaku selama 2 tahun melalui Inpres No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tetap mempertahankan izin hutan tanaman industri (HTI) yang dimiliki oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper 9RAPP) di Pulau Padang, Riau.

Untuk mengakomodasi masyarakat di dalam dan sekitar konsesi, perusahaan diminta untuk melakukan pemetaan partisipatif dan memastikan lahan milik masyarakat dikeluarkan dari areal HTI.

Menhut Zulkifli menyatakan keputusan soal kelanjutan HTI di Pulau Padang berdasarkan hasil rekomendasi dari tim mediasi yang dipimpin oleh Dewan Kehutanan Nasional.

“Tim sudah menyampaikan fakta-fakta lapangan. Saya sudah memutuskan HTI di Pulau Padang bisa berjalan dengan sejumlah persyaratan."

Kemenhut menerbitkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTI di Pulau Padang kepada PT RAPP seluas 41.205 hektare melalui Surat Keputusan Menhut No.327/2009.

Belakangan, terdapat tuntutan pencabutan izin tersebut dari kelompok yang mengklaim mewakili masyarakat Pulau Padang.

Kemenhut kemudian membentuk tim mediasi untuk menilai kelayakan operasi HTI di Pulau Padang pada khir Desember 2011 dan diharuskan memberi laporan pada akhir Januari 2012.

Berdasarkan laporan tim, katanya, lahan masyarakat yang memang berada di dalam areal HTI akan dikeluarkan dari areal kerja perusahaan.

Dalam proses tersebut akan dilakukan tata batas secara partisipatif yang melibatkan masyarakat. “Sedangkan untuk lahan yang diketahui berupa dom [lahan gambut dalam] nantinya akan di-enclave [dikeluarkan dari areal konsesi] dan ditetapkan sebagai kawasan lindung,” ujarnya.

Dia menambahkan pengalokasikan areal HTI untuk kawasan lindung dan lahan masyarakat sebenarnya sudah diatur dalam izin yang diberikan kepada perusahaan.

Dalam izin tersebut, pengelola HTI diharuskan mengalokasikan lahan minimal 30% untuk tanaman kehidupan, tanaman unggulan setempat dan kawasan perlindungan.

Menhut mengakui belakangan ini ada tuntutan dari sekelompok orang untuk mencabut izin HTI di Pulau Padang. Dia menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat ditekan dalam mengambil keputusan.

Menurutnya, untuk mencabut izin HTI ada prosedur yang sudah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Zulkifli memaparkan keputusan yang diambil untuk izin HTI di Pulau Padang diharapkan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan. (Bsi)

Sumber : Bisnis Indonesia, 17.02.12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar