17 Oktober 2012

[171012.ID.BIZ] KRL Commuter Line : Liberalisasi Tanggung Menuju Monopoli


LEUVEN--Meskipun mendapat tentangan dari banyak pihak, tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek akhirnya naik sebesar Rp 2.000 mulai 1 Oktober 2012. Dibandingkan dengan laju inflasi di Jakarta 2011-2012 yang hanya sekitar 3,9%, maka kenaikan tarif KRL ini secara persentase tidaklah kecil.

Untuk jurusan Tangerang-Jakarta, misalnya, kenaikan tarif yang terjadi sebesar 36%, sementara untuk jurusan Bogor-Jakarta, kenaikan ini adalah 28,5%.

Landasan hukum yang dipakai oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dalam hal ini adalah Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2011. Salah satu pokok isi PP 83/2011 tersebut adalah penunjukan PT KAI sebagai penyelenggara prasarana dan sarana kereta Jalur Lingkar Jabodetabek tanpa menggunakan dana APBN maupun APBD.

Seperti dinyatakan oleh PT KAI Commuter Line, yang merupakan anak perusahaan PT KAI, alasan di balik kenaikan tarif ini adalah peningkatan layanan di stasiun, seperti peremajaan stasiun, peron, jumlah petugas keamanan,  petugas operasional hingga pembelian kereta dari Jepang.

Artinya, biaya operasional dan investasi sarana dan prasana KRL Commuter Line Jabodetabek kini sepenuhnya dibebankan ke masyarakat pengguna.
Setuju atau tidak, apa yang terjadi dalam pelayanan angkutan jalan rel di Jabodetabek sekarang ini adalah sebagian dari mekanisme liberalisasi pasar.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah naiknya tarif sebesar ini merupakan hal yang normal dalam liberalisasi angkutan jalan rel?

Lupakan Kompetisi
Ide utama dari liberalisasi moda angkutan jalan rel adalah peringanan beban keuangan pemerintah dalam menyelenggarakan moda angkutan jalan rel dengan menyerahkannya ke pihak swasta. Tentunya anggaran pendapatan pajak negara atau daerah, dalam APBN atau APBD untuk penyelenggaraan angkutan jalan rel dapat dikurangi dan dialokasikan ke sektor anggaran lainnya.

Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa swastanisasi atau privatisasi bukanlah satu-satunya kegiatan yang dilakukan dalam proses liberalisasi. Untuk menjamin efisiensi pasar, proses liberalisasi juga memerlukan elemen lain yang sangat penting yaitu kompetisi.

Kompetisi dalam liberalisasi angkutan jalan rel dapat dilakukan misalnya lewat penyelenggaraan tender untuk memilih pihak swasta yang akan berperan sebagai operator kereta listrik, misalnya. Lewat proses tender, perusahaan swasta yang mampu menjanjikan operasi angkutan jalan rel dengan kinerja terbaik dengan biaya ekonomi terendah yang mencakup besarnya tarif atau harga tiket yang ditawarkan akan terpilih oleh pemerintah.

Dengan proses kompetisi, idealnya akan tercapai suatu pelayanan angkutan jalan rel dengan efisiensi tertinggi dengan tarif terendah.

Di dunia, hal ini sudah dilakukan di berbagai negara. Swedia, misalnya, sudah meliberalisasikan jaringan angkutan jalan lokalnya sejak 1988. Lewat proses kompetisi tender, masuknya swasta sebagai operator jaringan kereta lokal telah berhasil meningkatkan efisiensi kinerja  angkutan jalan rel yang ditandai dengan penurunan biaya operasional secara signifikan. Di sisi lain, ketepatan waktu tiba kereta meningkat yang disertai dengan naiknya 30% jumlah penumpang hanya dalam waktu 5 tahun setelah dimulainya liberalisasi.

Mengikuti sukses Swedia, Inggris meliberalisasi angkutan jalan rel nasional pada 1993. Liberalisasi sektor jalan rel di Inggris yang terjadi secara vertikal, dari penyelenggaraan infrastruktur sampai dengan operator, memecah British Rail menjadi sekitar 100 perusahaan.

Walau diwarnai dengan catatan suram akibat kecelakaan beruntun pada awalnya, proses liberalisasi jalan rel di Inggris kini diakui sebagai kesuksesan yang ditandai dengan naiknya 60% jumlah penumpang sejak 1995 dan ketepatan waktu tiba kereta yang mencapai tingkat 90%.

Yang sangat penting dicatat pada kedua kasus di atas adalah tingkat kenaikan tarif yang selalu lebih rendah dibandingkan saat jalan rel masih dipegang oleh perusahaan milik pemerintah. Di satu sisi, hal ini dapat dicapai berkat sistem kompetisi tender maupun evaluasi berkala yang dijalankan secara ketat oleh pemerintah, Inggris dan Swedia, dan di sisi lain fungsi regulator yang secara aktif dijalankan oleh pemerintah untuk menetapkan batas atas kenaikan tarif.

Risiko Monopoli
Penyelenggaraan angkutan jalan rel Commuter Line Jabodetabek oleh PT KAI Commuter Line yang merupakan perusahaan swasta nampaknya perlu dikaji ulang. Proses liberalisasi yang terjadi tanpa adanya kompetisi beresiko memunculkan adanya monopoli di kemudian hari. Penetapan kebijakan kenaikan biaya tarif KRL Commuter Line ditengah tentangan banyak pihak sudah merupakan gejala dari fenomena monopoli tersebut.

Entah kebetulan atau tidak, anjloknya rangkaian kereta ke arah Jakarta di Stasiun Cilebut hanya 4 hari setelah diberlakukannya kenaikan tarif, nampaknya juga memberi pengguna KRL suatu alasan untuk meragukan terjadinya efisiensi KRL Commuter Line.

Selain peninjauan ulang terhadap sistem penunjukan dan kontrak penyelenggaraan KRL Commuter Line, pemerintah juga seyogyanya meninjau kembali pasal larangan penggunaan APBN dan APBD untuk mensubsidi penyelenggaraan Commuter Line di Jabodetabek dalam bentuk Public Service Obligation (PSO).

Seperti disebutkan pakar transportasi ITB Harun Al-Rasyid Lubis, dua pertiga pengoperasian perkeretaapian dunia masih membutuhkan dukungan pemerintah berupa subsidi tahunan karena penjualan tiket kereta belaka tidak pernah akan dapat menutupi biaya operasi.

Jika PSO atau subsidi dapat kembali diberlakukan, adalah hak pemerintah sebagai perpanjangan tangan rakyat untuk menjadi regulator, misalnya dalam hal pembatasan besarnya kenaikan tarif tahunan. Pemerintah Inggris, misalnya, menetapkan rumusan besarnya inflasi tahunan plus 3% sebagai batas maksimum kenaikan tarif kereta tahunan.

Jika hal ini diterapkan di Jabodetabek maka untuk jurusan Jakarta-Bogor misalnya, kenaikan tarif maksimum hanyalah sebesar Rp490.

Joko Purwanto adalah blogger dan peneliti bidang transport ekonomi di Transport & Mobility Leuven, Belgia.

Sumber : Bisnis Indonesia, 17.10.12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar