25 September 2009

BR : Perlu Konsep Jelas Transportasi Mudik

Wawancara - 13 September 2009 13:00 wib

Bambang Riyanto: Perlu Konsep Jelas Transportasi Mudik

TAK ada Lebaran tanpa persoalan transportasi. Ini terjadi karena ada ''ritual'' mudik yang menggerakkan jutaan orang kembali ke tanah asal, ke kampung halaman. Tahun ini apakah mudik makin nyaman? Atau justru sebaliknya?

Apa upaya pemerintah memartabatkan transportasi Lebaran? Berikut perbincangan dengan Ketua Masyarakat Transportasi Jateng, Dr Ir Bambang Riyanto CES DEA, mengenai persoalan angkutan Lebaran, di Semarang, belum lama ini.

Apa problem mendasar pengelolaan transportasi kita menjelang Lebaran?

Ketika arus mudik dengan volume kendaraan yang demikian besar itu berlangsung, kita berupaya untuk bisa melayaninya. Tapi karena itu peristiwa luar biasa yang berlangsung setahun sekali, kita tidak bisa menuntut arus mudik bisa lancar seperti hari-hari biasa.

Kemacetan yang bisa ditangani adalah yang kasuistis, antara lain diakibatkan oleh pertemuan ruas jalan, pasar tumpah, atau proyek pengerjaan jalan yang belum rampung.

Sebetulnya kalau kita mengacu pada Undang-undang(UU) No 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, yang namanya jalan arteri primer seperti Pantura Jawa, harusnya bebas dari konflik seperti pasar tumpah dan aktivitas lain yang mengganggu kelancaran lalu lintas.

Namun dari tahun ke tahun, problem itu belum teratasi dengan baik. Saya kira perlu konsep jelas untuk menangani permasalahan itu.

Bisa dijabarkan bagaimana konsep itu?

Sekarang kita cenderung memberi keleluasaan pasar tumpah ada di pinggir jalan. Bahkan kadang-kadang mereka bisa saja menaruh jualannya di badan jalan. Mestinya fungsi jalan arteri primer tidak boleh seperti itu.

Prinsip jalan arteri primer mestinya mengurangi seminimal mungkin adanya jalan masuk. Ini akan menimbulkan konflik yang memicu terjadinya kemacetan. Cara mengatasinya perlu dibuat jalur lambat di kedua sisi jalan.

Adakah problem lain yang sifatnya lebih mendasar?

Menurut saya kurangnya koordinasi antarinstansi. Saya contohkan dalam penanganan jalan arteri primer. Untuk mengurangi potensi kemacetan, Dinas Perhubungan membuat pagar di median jalan. Sementara dinas lain menganggap, keberadaan pagar itu dapat mengganggu akses warga.

Dinas yang berwenang melakukan pengawasan punya pemikiran yang beda lagi, begitu juga dinas yang memberi izin pedagang berjualan di tepi jalan. Ketiadaan koordinasi dan visi yang jelas pada masing-masing pimpinan dinas ini justru memperparah keadaan.

Intinya, semua pihak harus punya persepsi dan tujuan yang sama. Menurut saya, permasalahan mendasarnya cuma itu. Soal ruas jalan yang sempit hingga tidak mampu menampung banyaknya kendaraan yang lewat, bisa dilebarkan.

Apakah transportasi Lebaran kita sudah bermartabat?

Sebenarnya pengertian bermartabat itu kan sulit juga. Kalau yang dimaksud adalah transportasi yang manusiawi, aman, nyaman, itu pun masih relatif. Kalau kita lihat dari tingginya angka kecelakaan, barangkali ya.

Tapi kalau dilihat, sebagian besar kecelakaan dialami pengendara sepeda motor. Nah, bicara soal banyaknya jumlah sepeda motor, itu hubungannya dengan kebijakan. Apakah maraknya pemudik motor bisa dibaca sebagai ketidakmampuan pemerintah menyediakan angkutan Lebaran yang murah dan nyaman?

Kalau semuanya dibebankan kepada pemerintah, ya mereka bisa mati duduk. Karena pemerintah tidak mungkin menyediakan sarana transportasi Lebaran yang nyaman sendirian.

Jangankan di Indonesia, di negara maju sekali pun, pemerintah kewalahan dalam menyediakan anggaran untuk melayani masyarakat. Jadi hal itu bisa diatasi dengan apa yang disebut partisipasi masyarakat. Jangan berpikir, pemerintah harus selalu menyediakan. Kalau rakyat mampu, mengapa tidak?

Bagaimana dengan moda angkutan lain, sudah bermartabatkah?

Pemerintah telah berupaya melakukan pembenahan pelayanan, baik itu kereta api, bus, kapal laut, maupun pesawat terbang. Tapi kalau fakta menunjukkan masih banyak orang naik motor, itu bukan berarti mereka tak terlayani.

Bisa jadi pemudik motor punya pertimbangan lain, misalnya tidak mendapat tiket sesuai hari yang diinginkan, atau membutuhkan motor untuk muter-muter di kampungnya.

Benar pemudik motor merupakan masalah, tapi apakah itu kesalahan mereka? Tidak juga. Apakah kesalahan pemerintah? Tidak juga. Ini situasi yang kompleks, berbagai faktor ikut menentukan di dalamnya.

Adakah solusi untuk membenahi sistem transportasi Lebaran yang kurang bermartabat itu?
Begini, namanya penumpang antre di stasiun, berdesak-desakan di bus itu niscaya terjadi saat mudik Lebaran.

Lantas, apakah itu dianggap sebagai kewajaran? Bukankah mudik merupakan ritus tahunan, yang semestinya bisa diprediksi atau diantisipasi?

Begini, misalnya pengelolaan kereta api. Mulai dari perusahaan negara, lalu berubah menjadi perusahaan jawatan, sampai kini menjadi perseroan terbatas.

Pergeseran status itu menunjukkan bahwa sistem pengelolaan kereta api kita bergerak ke arah yang lebih mandiri, untuk bisa menghidupi dirinya sendiri. Kalau PT KA rugi, siapa yang membantu? Sebagai perseroan, mereka sulit mendapat bantuan pemerintah.

Sekarang kalau PT KA menyediakan fasilitas khusus untuk melayani kebutuhan Lebaran. Setelah itu tidak bisa dipakai untuk menghasilkan keuntungan, kan mereka rugi.

Dengan pertimbangan semacam itu, PT KA bertindak proporsional. Pada saat Lebaran, mereka hanya menambah jam operasi, bukan membuat kereta baru.

Tapi bukankah PT KA sebagai badan usaha milik pemerintah berkewajiban melayani masyarakat sebaik-baiknya?

Ya, tapi mereka tetap harus realistis to. Kita harus realistis, dalam arti menikmati Lebaran dengan segala romantikanya, ha ha ha. Pembenahan infrastruktur dan peningkatan keselamatan penumpang memang perlu dilakukan. Tapi kemacetan yang terjadi patut mendapat permakluman.

Macet di sini yang dimaksud yang wajar lho ya. Kemacetan akibat tidak sebandingnya volume kendaraan dengan kapasitas jalan. Kalau kemacetan akibat pasar tumpah atau perbaikan jembatan saat Lebaran, itu yang tak bisa dibenarkan.

Jadi, tidak ada solusi apa pun?

Bukannya tidak ada solusi. Saya kira, apa yang dilakukan pemerintah selama ini sudah merupakan solusi. Mereka telah berupaya meningkatkan pelayanan transportasi mudik.

Di antaranya dengan melebarkan jalur pantura menjadi empat lajur, meningkatkan frekuensi perjalanan kereta api, memperbaiki sistem penjualan tiket dengan sistem online, berupaya mengurangi angka kecelakaan, mengoptimalkan jalur alternatif, dan lain-lain. Jika ternyata itu semua dianggap belum memadai, ya perlu ditingkatkan lagi.

Sekali lagi saya tekankan, investasi besar-besaran untuk kepentingan mudik yang hanya berlangsung setahun sekali selama kurang lebih sepekan itu kurang rasional juga. Terlebih jika belum pasti bisa mengatasi persoalan.

Problem transportasi Lebaran sebaiknya tidak hanya dibebankan kepada pemerintah. Masyarakat juga perlu mengambil peran. Misalnya dengan tidak memaksakan diri pulang kampung pada puncak mudik Lebaran.

Keluhan yang disampaikan masyarakat perlu dipilah. Keluhan terhadap kemacetan akibat pasar tumpah misalnya, oke, itu bisa dianggap sebagai kesalahan pemerintah. Tapi keluhan yang berkait dengan antrean penumpang di stasiun, serta berjubal penumpang di dalam kereta, kapal, atau bus, tidak bisa dikategorikan ke sana.

Dengan melihat strata sosial masyarakat, moda transportasi Lebaran apa yang perlu lebih dikembangkan di Indonesia?

Menurut saya kereta api perlu mendapat prioritas. Dibanding yang lain, moda transportasi ini lebih punya banyak kelebihan. Selain relatif aman, kereta bisa melayani pergerakan jarak jauh, mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar, ongkosnya relatif murah.

Mungkinkah mewujudkan moda transportasi Lebaran yang murah, namun aman dan nyaman?

Mungkin saja, tapi akan membentur permasalahan kompleks. Di sini kita bisa belajar dari kasus busway di Jakarta. Dibanding moda transportasi sejenis, seperti monorail dan subway, busway relatif lebih murah.

Meski demikian untuk pengoperasiannya masih disubsidi, Rp 260 miliar/tahun. Subsidi sebesar itu hanya dinikmati 2 persen dari orang yang bergerak di Jakarta. Sisanya yang mencapai 98 persen lebih suka menggunakan moda lain. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak tepat di situ.

Bagaimana Anda melihat persiapan transportasi Lebaran kali ini?

Menurut saya, pemerintah sudah berusaha melakukan pelayanan maksimal. Dari sisi infrastruktur, mereka telah meningkatkan kapasitas jalur pantura dari dua lajur menjadi empat lajur, serta mengembangkan jalan tol sebagai alternatif pendamping jalan umum.

Sementara dari sisi sarana transportasi, pemerintah sudah mendata angkutan yang dibutuhkan masyarakat. Cukup tidaknya, tergantung kesiapan perusahaan penyedia jasa transportasi.

Berdasarkan perkiraan, pemudik yang melintas di Jateng pada Lebaran kali ini mencapai 4,7 juta, atau meningkat 6,7% dari tahun sebelumnya. Yang menarik, persentase kenaikan terbesar justru pada mobil pribadi (10 persen) dan angkutan udara (15 persen). Apa yang bisa dibaca dari angka-angka tersebut?

Peningkatan jumlah pemudik niscaya akan terus terjadi setiap tahun. Hal itu terkait dengan kenaikan jumlah penduduk. Mengenai prosentase kenaikan penggunaan mobil pribadi dan angkutan udara yang relatif tinggi, itu menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih sejahtera.(35)

Nama: Dr Ir Bambang Riyanto CES DEA.
Tempat/tanggal lahir: Pati, 26 Maret 1953.
Pekerjaan: dosen Teknik Sipil Universitas Diponegoro (1987-sekarang).
Pendidikan: Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil UGM (1981), Program master pada Geotechnique Ecole Nationale des Travaux Publics de I'Etat (ENTPE), Lyon, Prancis (1991). Program master di Urbanisme et Amenagement (Perencanaan Transportasi Perkotaan), Ecole Nationale des Ponts et Chausses (ENPC) Paris, Prancis (1992). Program doktoral pada Urbanisme et Amenagement (Perencanaan Transportasi Perkotaan) Institut Francais d'Urbanisnisme, Universitas Paris VIII, Paris, Prancis (1996).

(Rukardi/)

Sumber : Suara Merdeka Cybernews.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar