Senin, 14 September 2009 22:22 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Konfrontasi Indonesia dan Malaysia lewat media cetak, Radio, televisi maupun internet, tentang klaim negara Malaysia terhadap budaya, lagu kebangsaan dan pulau-pulau terluar milik Indonesia menuai berbagai tanggapan dari para pakar.
Salah satu pakar yang ikut berbicara adalah Oentoro Surya, pakar kemaritiman, yang juga Ketua Mappel (Masyarakat Pemerhati Pelayaran, Pelabuhan dan Lingkungan Maritim).
Pada Kompas.com, Oentoro mengungkapkan keprihatinannya tentang lemahnya pengawasan terhadap pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan Indonesia baik yang darat maupun wilayah laut yang berbatasan dengan negara tetangga.
Bagi Oentoro, kedaulatan Republik Indonesia merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Apalagi ini menyangkut masalah kelautan, perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia.
"Saya prihatin dengan isu-isu yang berkembang belakangan ini. Bagi saya, kedaulatan RI adalah harga mati yang harus diperjuangkan. Dan ada beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah," ujarnya.
Menurut Oentoro, Indonesia memiliki laut yang sangat luas, mencapai 3,9 juta kilometer persegi. Namun, laut seluas itu, baru 40 persen yang dieksploitasi.
"Laut yang luas ini sejatinya bisa dikembangkan untuk keperluan pelayaran, pelabuhan, perikanan, perkapalan, pariwisata dan pertambangan," jelasnya. Namun, pengembangan ini sulit dilakukan, karena banyak kebijakan pemerintah yang justru menghambat pemanfaatan dan pengawasan kelautan, serta kurangnya rasa nasionalisme masyarakat.
Persoalan lain yang juga dirasakan Oentoro, salah satunya koordinasi penegakan hukum di laut, pantai dan pelabuhan. "Bagaimana kita bisa menjaga pulau-pulau dan wilayah laut kita, jika penegakan hukum di laut, di pantai dan di pelabuhan masih carut marut," katanya.
Hampir setiap kali ada kesempatan, Oentoro tidak pernah lelah meneriakkan gagasannya kepada pemerintah agar dibentuk aparat keamanan terpadu di bidang kelautan dan pantai.
"Saya tidak akan pernah lelah berteriak, pentingnya pembentukan aparat keamanan terpadu atau yang biasa disebut Indonesian Sea and Coast Guard (ISCG). Karena lembaga ini sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan RI melalui satu pintu," jelasnya.
Menurut Oentoro, hampir semua negara yang mempunyai garis pantai memiliki Coast Guard, kecuali negara Indonesia. Namun, meskipun idealisme Oentoro tentang tata kemaritiman di Indonesia belum sepenuhnya terealisasi, Oentoro mengaku sudah cukup lega.
"Ya, untuk sementara saya lega, karena salah satu masalah krusial di dunia pelayaran telah diakomodasi dengan penerapan azas cabotage di Indonesia," ujar pendiri Lembaga Kajian Indonesia Maritim Studies (IMS) ini.
Lewat Undang Undang Pelayaran Nasional, Nomor 17 tahun 2008, yang mengatur azas cabotage, azas ini mengatur dan menerapkan perairan laut disuatu negara hanya boleh dilayari oleh kapal-kapal yang berbendera negara yang bersangkutan.
"Hampir semua negara maju telah menerapkan azas ini. Keuntungan dari penerapan azas ini, industri pelayarannya dapat berkembang dan yang utama keamanan lautnya pun relatif lebih terjaga," katanya. (gie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar