27 September 2009

G-20 Resmi Gantikan G-8

Sabtu, 26 September 2009 05:14 WIB

PITTSBURGH, KOMPAS.com — Para pemimpin G-20 resmi menyatakan peran G-8 akan digantikan G-20. Keputusan itu dinilai sebagai loncatan besar dan bersejarah menuju terbentuknya tatanan dunia baru, setidaknya secara ekonomi.
G-20 menyumbang 90 persen terhadap produk domestik bruto dunia, sekitar 60 triliun dollar AS. Para diplomat mengatakan, G-8 tetap eksis, tetapi fokusnya nonekonomi. G-20 adalah organisasi informal dan tidak mengikat, tetapi pengaruhnya cukup besar untuk mendorong peluncuran sebuah kebijakan multilateral.
G-20 akan mengubah kelompok elite dunia, yang sebelumnya didominasi negara-negara kaya, menjadi kelompok elite dengan kombinasi negara berkembang dengan prospek cerah serta negara-negara kaya.
Gedung Putih, Washington DC, Kamis (24/9), menyatakan, "Keputusan itu bertujuan menggiring ke meja perundingan negara-negara yang memang diperlukan untuk menciptakan perekonomian global yang lebih seimbang dan lebih kuat. Peran negara-negara itu diperlukan untuk merancang reformasi keuangan dan membebaskan warga miskin."
Hampir semua kalangan menyambut keputusan itu kecuali Jepang, yang kecewa karena China selalu mengganjal Jepang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama tidak antusias soal peran G-20 menggantikan G-8.
Namun, profesor politik Shinichi Nishikawa dari Universitas Meiji, di Tokyo, mengatakan, "Tidak realistis membahas isu global tanpa melibatkan China atau India. Tindakan itu menggambarkan berakhirnya sebuah era.
Keberadaan Jepang memudar, dan itu tidak terhindarkan."PM Australia Kevin Rudd mengatakan, G-20 memang sudah harus menjadi badan penting untuk memperkuat perekonomian global pada masa datang.
"G-20 kini memungkinkan Australia bersuara dalam pengelolaan ekonomi global, yang memberikan pengaruh langsung kepada kami," kata Rudd soal G-20, yang resmi menjadi forum utama ekonomi dunia.
Keputusan itu merupakan inisiatif Presiden AS Barack Obama, dan disetujui para pemimpin G-20. Keputusan ini merupakan kemenangan Obama, yang sebelum menjadi presiden sudah mencanangkan dunia yang lebih mendengarkan aspirasi warga global ketimbang hanya didominasi sekelompok kecil negara-negara maju.
Obama mengakui peran China dan mendambakan reformasi arsitek keuangan global.
Suara di IMF
Perubahan posisi G-20 itu mengandung banyak makna, termasuk pengakuan kepada negara-negara berkembang untuk menggerakkan ekonomi global ke depan.
"Sebagai salah satu contoh, kita tidak bisa lagi mengharapkan konsumen AS bisa menjadi katalisator ekonomi. Kita kini mau tidak mau harus mengharapkan peran ekonomi Brasil, India, China, bahkan Asia Tenggara," kata Presiden Bank Dunia Robert Zoellick kepada televisi CNN.
Peningkatan status G-20 memiliki arti tentang potensi perubahan arsitektur keuangan global, yang selama ini didominasi Barat lewat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, dengan resep-resep ekonomi yang malah menjerumuskan negara yang ditolong.
G-20 setuju membuat IMF menjadi badan dunia yang lebih mewakili kepentingan 186 negara anggota PBB. Hak veto di IMF juga akan dibuat lebih seimbang. Sekarang ini hak suara negara maju di IMF 57 persen berbanding 43 persen untuk negara berkembang.
Hak suara akan dibuat menjadi 50:50. Tahun 2011 adalah batas waktu reformasi hak suara di IMF.G-20 juga sepakat bahwa pemimpin IMF, yang selama ini dikuasai Eropa, akan dipilih berdasarkan kualifikasi perorangan, bukan kewarganegaraan.
Keinginan Presiden RI
Keputusan G-20 itu juga sesuai dengan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengusulkan agar G-20 menjadi organisasi permanen. Indonesia akan menjadi tuan rumah G-20 pada 2013.
Presiden pada situs presidensby.info mengatakan akan memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang lewat forum G-20. Ekonom A Tony Prasetiantono mengatakan, naiknya status G-20 memiliki arti besar bagi Indonesia sebagai salah satu negara anggota.
Ia mengatakan, forum G-20 akan membuat Indonesia bisa menyuarakan secara langsung kepentingannya ketimbang selama ini hanya menjadi penonton G-8. Sebagai contoh, kata Tony, Indonesia akan bisa mendorong lebih kencang pengurangan utang, yang menumpuk, bukan semata-mata karena kesalahan penerima utang, tetapi juga akibat kebijakan negara donor.
Lewat forum G-20, Indonesia bisa menyuarakan ketidakadilan perdagangan global, termasuk praktik dumping yang seenaknya dituduhkan kepada negara berkembang, termasuk Indonesia.
Wahyu Susilo dari Migrant Care mengingatkan Indonesia agar menjadikan G-20 sebagai ajang menyuarakan kepentingan diri sendiri dan negara berkembang. Dia menantang Indonesia agar berubah dari status sebagai peserta yang tidak berarti menjadi pelopor di G-20.
Indonesia berpotensi menjadi salah satu negara yang akan didengarkan pendapatnya dalam forum ini.
"Kesepakatan pada G-20 merupakan kesepakatan skala global. Perlu ada upaya agar kesepakatan itu dapat diimplementasikan dan ditindaklanjuti. Kalau tidak, tidak akan ada banyak manfaatnya bagi kita," kata dosen dari Universitas Atma Jaya, A Prasetyantoko.
Prasetyantoko juga meminta Indonesia berperangai kaliber internasional, termasuk mengatasi korupsi dan kelemahan lain, agar status Indonesia di kelompok elite dunia tidak diremehkan karena kelemahan sendiri.
"Jika kita tak berubah, tak akan ada artinya."
(REUTERS/ANTARA/ AP/AFP/MON/JOE)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar