Oleh : RAM
Godaan puasa memang luar biasa. Berdasarkan kenyataan sehari-hari dan juga rujukan para penceramah di mesjid-mesjid seluruh pelosok tanah air. Tema yang diusik pun sangat beragama, Insya Allah bisa menambah keyakinan terhadap Alah SWT. Amin.
Hasil yang diterima para pendengar ceramah yang nota bene peserta shalat tarawih, sangat variatif dan kejelian si pembawa acara untuk menyiasati situasi, sangat diharapkan. Di bulan puasa, mesjid dibanjiri peminat pencari surga – meminjam istilah band Ungu.
Yang sering disinggung adalah hari pertama selalu menunjukkan potensi peserta membludak hingga ke badan-badan jalan (umum) atau pekarangan desa/perumahan. Itu saking antusiasmenya.
Namun seiring perjalanan sang waktu, di hari-hari terakhir toh jumlah peserta semakin maju shaf-nya bukan kadar keimanannya. Jadi ironis ketika semakin hari justru semakin banyak kasus ini dan itu muncul. Boleh dibilang, puasa ya puasa, ehh kebobrokan tetap jalan.
Alkisah selama 15 hari mengikuti shalat tarawih (maaf, bukan bermaksud ri’ya apalagi pamer keshalehan), ada satu isi ceramah yang cukup lumayan bermakna, yakni saat sang Ustadz menyampaikan perumpamaan gabah menjadi beras siap makan.
Pada dasarnya, setiap manusia menyerupai transformasi tersebut, dari manusia yang “kotor” disaring menjdi manusia yang bersih atau kelak bila bisa melewati hari raya Lebaran, istilahnya kembali fitri (suci).
Ibarat gabah 100 kilogram (kg) setelah digiling (bahasa Sunda "di-heuleur) bisa jadi beras siap masak hanya 50 kg atau kurang. Artinya jumlahnya akan berkurang karena sisa-sisa gabah akan tercecer dan terbuang.
Manusia yang 'ndableg, bisa jadi sulit kembali ke khitah-nya menjadi manusia baik namun usaha kearah sana tetap harus dicoba. Sayangnya bulan Ramadhan hanya sebulan berlangsung dan sisa 11 bulan akan terasa bagai batu ujian apakah kita mampu menjalani kehidupan seperti di bulan puasa.
Menahan dahaga, lapar dan yang terpenting dari itikad berpuasa adalah melawan hawa nafsu keduniawian lainnya, semisal maksiat, korupsi dan lain-lain. Makanya jangan heran kalau ada yang nyeletuk, nyari orang yang benar-benar ikhlas saat ini jauh lebih sulit ibarat mencari duit halal. Rejeki yang haram saja semakin susah apalagi yang halal.
Nah, peribahasa semacam inilah yang menjadi racun bila dituruti kata hati. Memaknai mencari rejeki dengan segala cara, No Way Man ! Harus berhati-hati dan tetap introspeksi. Manusia itu wajar berbuat salah tetapi kesalahan tersebut ngga diulangi berkali-kali karena bisa menjadi kebiasaan alias habit.
Kini, mumpung masih puasa, adakah yang tersisa dibalik makna berlapar-lapar dan berhaus-haus ria ? Semuanya terpulang kepada masing-masing individu dan semoga kita sanggup untuk menjadi yang terbaik, minimal manjdi baik.
Tidak pernah ada kata terlambat dan seyogyanya kita harus mencobanya. Mumpung masih diberi waktu, kenapa tidak ? Ayoooo dapatkah nikmatnya seni berpuasa. Wassalam.
Minggu, 06/09/09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar