Senin, 14 September 2009 06:01 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com-Kalangan pengusaha makanan-minuman mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal itu terkait kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman berbahan baku dari hewan.
”Kami sudah putuskan untuk mengajukan judicial review atas UU Nomor 18 Tahun 2009. Permohonan ini akan masuk ke Mahkamah Konstitusi minggu pertama Oktober,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Industri Makanan dan Minuman (Gapmmi) Franky Sibarani di Jakarta, Minggu (13/9).
Gugatan dilayangkan kalangan industri yang tergabung dalam Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM). Franky menjelaskan, uji materi diajukan untuk materi 58 ayat 4 UU Nomor 18/2009 yang menyatakan, ”Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah negara kesatuan RI untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal”.
Dampak dari ayat itu bagi industri, menurut Franky, sangat luas karena bila dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat 13 yang menyatakan, produk hewan adalah semua bahan dari hewan yang masih segar, ataupun yang sudah diolah untuk keperluan konsumsi, farmaseutika, pertanian dan kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan manusia, maka semua yang terkait produk hewan wajib mencantumkan sertifikat halal, dan sertifikat veteriner.
Itu berarti, lanjut Franky, telur, madu dan susu pun wajib disertifikasi. Bahkan, bahan baku pakan ternak yang dari hewan, dan produk lain, seperti tas kulit, sepatu kulit, serta semua produk kerajinan dari tanduk, bulu, kuku atau tulang hewan, juga harus disertifikasi halal.
”Pedagang yang menjual STMJ atau susu, telur, madu dan jahe harus mendapatkan sertifikat halal dan sertifikat veteriner untuk tiga bahan bakunya. Bagaimana kita memastikan kehalalan sebutir telur?” ujarnya.
Kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang berasal dari hewan atau turunannya semakin memberatkan kalangan dunia usaha bila kelak Rancangan Undang- Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), yang kini dibahas di DPR, disahkan jadi UU.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Kepabeanan, Sistem Fiskal dan Moneter Kadin Hariyadi Sukamdani menjelaskan, RUU yang diharapkan menjamin kehalalan suatu produk melalui sertifikat halal akan mengancam kelangsungan usaha, terutama usaha kecil dan menengah.
”Mereka yang terbatas modal dan akses terhadap informasi akan sangat sulit memenuhi ketentuan ini,” kata Hariyadi. Menurut Hariyadi, telah banyak undang-undang yang melindungi konsumen, terutama soal kehalalan. Sebut saja UU Nomor 23/1992 tentang Kesehatan, UU 71/1996 tentang Pangan, dan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UU tersebut telah dilengkapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan PP 28/2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan.
Selama ini industri pangan, obat dan kosmetika telah sukarela melaksanakan sistem jaminan halal terhadap produknya. Dalam 11 tahun terakhir, misalnya, catatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan telah menerbitkan sertifikat bagi sekitar 8.000 produk. (OSA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar